Indonesia diprediksi defisit energi pada 2021
Indonesia diprediksi mengalami defisit energi pada 2021 mendatang jika kegiatan eksplorasi energi tidak memiliki inovasi dan pihak-pihak terkait hanya melakukan kegiatan seperti biasanya.
Ekonom senior Indef, Faisal Basri, mengatakan proyeksi ini didasari oleh dua hal; pertama, Indonesia merupakan satu di antara negara dengan daya konsumsi energi terbesar di dunia. Kedua, produksi energi --terutama minyak dan gas-- mengalami penurunan secara konsisten setiap tahun.
Faisal menilai Indonesia sejauh ini masih surplus karena ditolong oleh produksi batu bara. Pada 2018, ekspor batubara mencapai AS$20,6 miliar sehingga transaksi energi secara keseluruhan masih surplus AS$8,2 miliar.
"Namun, kita harus waspada, karena defisit energi sudah di depan mata. Defisit energi akan mengakselerasi jika kita tidak melakukan apa-apa (business as usual). Defisit energi bisa mencapai AS$80 miliar atau 3 persen PDB pada 2040," ujar Faisal dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (28/7/2019).
Negara dengan konsumsi energi terbanyak
Indonesia masuk dalam 11 besar negara dengan konsumsi energi tertinggi di dunia. Pertumbuhan konsumsi energi Indonesia pada 2017 naik 5,0 persen, jauh di atas rerata pertumbuhan selama 10 tahun terakhir yang sebesar 2,9 persen.
Penggunaan energi tersebut meningkat dua kali lipat dalam 20 tahun terakhir. Energi primer terdiri dari batu bara, minyak mentah, dan gas alam. Berdasarkan data BP, perusahaan migas asal Inggris; konsumsi energi di Indonesia masih didominasi minyak mentah sebesar 44,1 persen, disusul batu bara yang naik hingga 32,6 persen, dan gas alam 19,2 persen, serta sisanya energi lain.
Jika melihat sejarah migas, Indonesia pernah menjadi negara pengekspor minyak dan gas alam terbesar di dunia. Namun konsumsi minyak yang cenderung meningkat dibarengi dengan penurunan produksi membuat Indonesia mengalami defisit minyak sejak 2003.
Data SKK Migas menunjukkan produksi minyak Indonesia nasional semakin merosot selama satu dekade terakhir, sedangkan konsumsi kian meningkat. Pada 2010, produksi minyak bumi dan kondensat pernah mencapai 945 ribu barel per hari.
Namun per 2018, produksinya menurun mencapai 772 barel per hari. Sementara konsumsi meningkat menjadi 1,65 juta barel sehingga dibutuhkan 702 barel per hari untuk memenuhi kebutuhan minyak domestik.
Produksi minyak bumi, 2010-2018
Guna menutup defisit tersebut, PT Pertamina (Persero) ditugaskan untuk mengimpor minyak dari luar negeri setiap tahun. Kondisi itu membuat neraca nilai perdagangan migas nasional mengalami defisit.
Sepanjang 2018, Indonesia mencatat defisit perdagangan migas senilai AS$12,7 miliar atau setara Rp182 triliun. Defisit neraca migas ini melonjak 45 persen dibanding tahun sebelumnya dan juga merupakan yang terbesar dalam empat tahun terakhir.
Dalam rangka mengurangi laju penurunan produksi migas, pemerintah dipandang perlu untuk terus mendorong penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Ekspansi ke luar negeri melalui merger dan akuisisi juga perlu dilakukan dalam rangka menghindari krisis energi yang sudah semakin dekat.
"Cadangan minyak Tiongkok meningkat karena melakukan akuisisi ladang-ladang minyak di berbagai negara," kata Faisal.
Jamin kepastian investasi
Penurunan produksi energi tidak lepas dari kinerja investasi di sektor hulu yang kurang produktif. Stabilitas hukum dan politik masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah dalam menghadapi kinerja investasi migas yang belum memuaskan.
Ekonom Abra Talattov mengatakan investasi migas sangat berorientasi pada investasi jangka panjang. Oleh karena itu, wajar apabila isu utama yang harus diantisipasi oleh investor adalah potensi gejolak politik yang berujung pada perombakan kebijakan.
Pemerintah harus dapat menjawab dan meyakinkan investor bahwa pemerintah berkomitmen dalam mengurangi risiko kelabilan hukum dan politik. Di sisi lain, pemerintah juga harus bisa menunjukkan potensi keuntungan kepada investor migas.
Upaya peningkatan investasi migas ke depan dapat dilakukan dengan dua cara. Yaitu didorong pada level eksplorasi dan juga menambah pasokan dari eksploitasi di blok-blok terminasi melalui strategi enhanced oil recovery (EOR).
Kendati demikian, upaya tersebut tampaknya belum dilakukan secara maksimal oleh pemerintah. Data dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) tentang Regulatory Restrictiveness Index (RRI) menunjukkan, Indonesia masih berada di posisi ke-44.
Artinya, Indonesia termasuk negara yang memiliki hambatan regulasi tertinggi di dunia. "Maka, tidak mengherankan apabila kinerja investasi migas di Indonesia masih rendah," kata Abra, Minggu (28/7).
Sebenarnya saat ini peluang untuk menarik investasi hulu migas lebih besar. Sebab, saat ini harga minyak dunia mengalami tren kenaikan yang telah menyentuh level AS$63 per barel atau naik 18 persen sejak awal 2019.
Stimulus itu semakin besar dengan kecenderungan semakin tegangnya hubungan Amerika Serikat-Eropa dengan Iran maupun kelabilan politik di Timur Tengah. Kondisi ini sebetulnya dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk menggaet para investor migas karena relatif terjaganya suhu geopolitik di kawasan ASEAN.
"Namun lagi-lagi, hambatan domestik lah yang justru menjadi momok bagi investor migas," ujar Abra.
Referensi:
https://beritagar.id/artikel/berita/indonesia-diprediksi-defisit-energi-pada-2021
Indonesia diprediksi mengalami defisit energi pada 2021 mendatang jika kegiatan eksplorasi energi tidak memiliki inovasi dan pihak-pihak terkait hanya melakukan kegiatan seperti biasanya.
Ekonom senior Indef, Faisal Basri, mengatakan proyeksi ini didasari oleh dua hal; pertama, Indonesia merupakan satu di antara negara dengan daya konsumsi energi terbesar di dunia. Kedua, produksi energi --terutama minyak dan gas-- mengalami penurunan secara konsisten setiap tahun.
Faisal menilai Indonesia sejauh ini masih surplus karena ditolong oleh produksi batu bara. Pada 2018, ekspor batubara mencapai AS$20,6 miliar sehingga transaksi energi secara keseluruhan masih surplus AS$8,2 miliar.
"Namun, kita harus waspada, karena defisit energi sudah di depan mata. Defisit energi akan mengakselerasi jika kita tidak melakukan apa-apa (business as usual). Defisit energi bisa mencapai AS$80 miliar atau 3 persen PDB pada 2040," ujar Faisal dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (28/7/2019).
Negara dengan konsumsi energi terbanyak
Indonesia masuk dalam 11 besar negara dengan konsumsi energi tertinggi di dunia. Pertumbuhan konsumsi energi Indonesia pada 2017 naik 5,0 persen, jauh di atas rerata pertumbuhan selama 10 tahun terakhir yang sebesar 2,9 persen.
Penggunaan energi tersebut meningkat dua kali lipat dalam 20 tahun terakhir. Energi primer terdiri dari batu bara, minyak mentah, dan gas alam. Berdasarkan data BP, perusahaan migas asal Inggris; konsumsi energi di Indonesia masih didominasi minyak mentah sebesar 44,1 persen, disusul batu bara yang naik hingga 32,6 persen, dan gas alam 19,2 persen, serta sisanya energi lain.
Jika melihat sejarah migas, Indonesia pernah menjadi negara pengekspor minyak dan gas alam terbesar di dunia. Namun konsumsi minyak yang cenderung meningkat dibarengi dengan penurunan produksi membuat Indonesia mengalami defisit minyak sejak 2003.
Data SKK Migas menunjukkan produksi minyak Indonesia nasional semakin merosot selama satu dekade terakhir, sedangkan konsumsi kian meningkat. Pada 2010, produksi minyak bumi dan kondensat pernah mencapai 945 ribu barel per hari.
Namun per 2018, produksinya menurun mencapai 772 barel per hari. Sementara konsumsi meningkat menjadi 1,65 juta barel sehingga dibutuhkan 702 barel per hari untuk memenuhi kebutuhan minyak domestik.
Produksi minyak bumi, 2010-2018
Guna menutup defisit tersebut, PT Pertamina (Persero) ditugaskan untuk mengimpor minyak dari luar negeri setiap tahun. Kondisi itu membuat neraca nilai perdagangan migas nasional mengalami defisit.
Sepanjang 2018, Indonesia mencatat defisit perdagangan migas senilai AS$12,7 miliar atau setara Rp182 triliun. Defisit neraca migas ini melonjak 45 persen dibanding tahun sebelumnya dan juga merupakan yang terbesar dalam empat tahun terakhir.
Dalam rangka mengurangi laju penurunan produksi migas, pemerintah dipandang perlu untuk terus mendorong penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Ekspansi ke luar negeri melalui merger dan akuisisi juga perlu dilakukan dalam rangka menghindari krisis energi yang sudah semakin dekat.
"Cadangan minyak Tiongkok meningkat karena melakukan akuisisi ladang-ladang minyak di berbagai negara," kata Faisal.
Jamin kepastian investasi
Penurunan produksi energi tidak lepas dari kinerja investasi di sektor hulu yang kurang produktif. Stabilitas hukum dan politik masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah dalam menghadapi kinerja investasi migas yang belum memuaskan.
Ekonom Abra Talattov mengatakan investasi migas sangat berorientasi pada investasi jangka panjang. Oleh karena itu, wajar apabila isu utama yang harus diantisipasi oleh investor adalah potensi gejolak politik yang berujung pada perombakan kebijakan.
Pemerintah harus dapat menjawab dan meyakinkan investor bahwa pemerintah berkomitmen dalam mengurangi risiko kelabilan hukum dan politik. Di sisi lain, pemerintah juga harus bisa menunjukkan potensi keuntungan kepada investor migas.
Upaya peningkatan investasi migas ke depan dapat dilakukan dengan dua cara. Yaitu didorong pada level eksplorasi dan juga menambah pasokan dari eksploitasi di blok-blok terminasi melalui strategi enhanced oil recovery (EOR).
Kendati demikian, upaya tersebut tampaknya belum dilakukan secara maksimal oleh pemerintah. Data dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) tentang Regulatory Restrictiveness Index (RRI) menunjukkan, Indonesia masih berada di posisi ke-44.
Artinya, Indonesia termasuk negara yang memiliki hambatan regulasi tertinggi di dunia. "Maka, tidak mengherankan apabila kinerja investasi migas di Indonesia masih rendah," kata Abra, Minggu (28/7).
Sebenarnya saat ini peluang untuk menarik investasi hulu migas lebih besar. Sebab, saat ini harga minyak dunia mengalami tren kenaikan yang telah menyentuh level AS$63 per barel atau naik 18 persen sejak awal 2019.
Stimulus itu semakin besar dengan kecenderungan semakin tegangnya hubungan Amerika Serikat-Eropa dengan Iran maupun kelabilan politik di Timur Tengah. Kondisi ini sebetulnya dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk menggaet para investor migas karena relatif terjaganya suhu geopolitik di kawasan ASEAN.
"Namun lagi-lagi, hambatan domestik lah yang justru menjadi momok bagi investor migas," ujar Abra.
Referensi:
https://beritagar.id/artikel/berita/indonesia-diprediksi-defisit-energi-pada-2021
Komentar